Pages

Senin, 08 September 2014

Produksi Wood Pellet

. Potensi biomasa Indonesia menurut ESDM ketika dikonversi listrik akan menjadi 49.810 MW dan yang dimanfaatkan baru 1618,40 MW atau kurang dari 4%. Hal ini menunjukan potensi energi belum dimanfaatkan secara optimal. Salah satu sebabnya adalah mahalnya biaya investasi untuk penyediaan unit-unit pemanfaatan thermal biomasa tersebut seperti boiler untuk industri hingga pembangkit listrik dengan energi biomasa.

Energi biomasa pada umumnya memiliki masalah berupa keberagamannya, kandungan energi rendah dan tingginya kadar air. Masalah tersebut bisa diatasi dengan teknologi pemadatan biomasa (biomass densification) menjadi pellet dan briket dengan kualitas yang konsisten yakni standar dan stabil. Kriteria itu meliputi kandungan energinya tinggi, kadar air rendah serta ukuran dan bentuk yang homogen.

Limbah biomassa sumber bahan baku wood pellet Hampir semua jenis biomasa dapat digunakan sebagai bahan baku untuk produksi pellet. Tetapi wood pellet dengan bahan baku biomasa kayu memiliki sejumlah keunggulan dibandingkan biomasa limbah agroindustri, Biomasa berkayu memiliki 3 komponen dasar dan sejumlah bahan yang sangat sedikit. Tiga komponen utama tersebut adalah struktur polimer organik alami, yakni : selulose, hemiselulose dan lignin.

Komponen paling penting untuk proses pemelletan adalah lignin, karena lignin sebagai perekat alami yang membuat partikel berkayu dalam pellet lebih kuat. Bahan baku kayu bisa dibedakan menjadi 2 kelompok besar, yakni : softwood & hardwood. Faktor pembedanya antara lain nilai kalor, kadar abu dan kandungan lignin. Hasil terbaik untuk produksi pellet didapat dari bahan baku batang kayu. Pellet tersebut adalah pellet kualitas premium (kadar abu terendah, mechanical durability tertinggi dan sebagainya)dan masuk standar “A1 Class Pellet”. Produksi pellet tersebut bisa dicapai jika menggunakan bahan baku serbuk gergaji.

Pabrik wood pellet terdiri dari tahapan proses seperti berikut :
· Persiapan bahan baku · Pemelletan · Treatment pasca pemelletan
A. Persiapan Bahan Baku Persiapan bahan baku tergantung dari karakteristik dimensi. Semakin besar dimensi bahan baku maka akan semakin besar investasi dan biaya operasional untuk tahap persiapan bahan baku ini. Jika serbuk gergaji digunakan sebagai bahan baku, persiapan bahan baku berupa pengecilan ukuran (size reduction) menjadi seukuran serbuk gergaji tidak perlu dilakukan. Hal inilah mengapa serbuk gergaji menjadi pilihan favorit untuk produksi wood pellet.
Untuk mendapatkan suplai jumlah besar dan kontinyu serbuk gergaji dari limbah-limbah gergajian tidak bisa diandalkan.Untuk itulah sebagian produser pellet menggunakan batang kayu sebagai bahan bakunya. Kondisi ini kurang disukai karena nilai investasi dan biaya operasionalnya. Kondisinya akan semakin kompleks jika produsen akan memproduksi “A1 Class Pellet”. Hal ini karena perlu pengelupasan kulit (debarking) ditambahkan diproses tersebut. Kulit kayu (bark) tersebut selanjutnya bisa digunakan untuk bahan baku di tungku dengan gas dari pembakarannya digunakan untuk media pemanas diproses pengeringan. Tetapi apabila kulit kayu (bark) akan digunakan sebagai bahan baku pellet maka akan dihasilkan pellet dengan kadar abu tinggi.
Kayu kaliandra dari jenis tanaman trubusan atau SRC (short rotation copicces) memiliki kadar abu sekitar 2% dan masuk dalam “A2 Class Pellet”. Kayu kaliandra dengan menggunakan batang kayunya sebagai bahan bakunya perlu dikecilkan ukurannya dan dikeringkan sebelum pemelletan. Secara dimensi kayu kalliandra berdiameter kurang dari 10 cm sehingga investasi dan biaya operasional pada persiapan bahan baku tidak terlalu besar.

 Chipping – Coarse Grinding
 Jika biomasa berkayu sebagai bahan baku yang digunakan beranekaragam ukurannya maka alat pertama yang digunakan dalam process line wood pellet adalah chipper. Chipper digunakan untuk tahap awal untuk penghancuran kasar dengan ukuran chip sekitar 1-3 cm. Saat ini di pasaran tersedia sejumlah tipe chipper yakni: drum chipper, disc chipper, screw chipper, dan wheel chipper.
Drum chipper paling banyak digunakan karena ketahanan dan kehandalan. Drum chipper besar bahkan dapat menghancurkan batang kayu hingga ukuran diameter 1 m. Dalam drum chipper bahan dihancurkan dengan pisau-pisau yang dipasang melintang pada drum yang berputar secara horizontal. Ukuran partikel bahan baku yang dihasilkan dari chipper kurang kecil untuk produksi pellet. Sehingga penghancuran tahap selanjutnya dilakukan untuk mendapatkan ukuran partikel yang sesuai untuk produksi pellet.Semakin kecil ukuran partikel maka ongkos produksi untuk penghancuran material tersebut semakin mahal. Sebagai contoh untuk produksi pellet dengan diameter 6 mm maka ukuran partikel bahan baku harus dibawah 4 mm.

Hammer mills – Fine grinding
Untuk mendapatkan ukuran partikel yang sesuai selanjutnya chip yang dihasilkan chipper selanjutnya melalui conveyor dihancurkan lebih lanjut dengan hammer mills. Hammer terbuat dari logam dengan pelapisan khusus untuk menambah kekuatannya dan ukuran partikel output ditentukan oleh diameter lubang pada screen. Hammer mill pada umumnya mensyaratkan tingkat kekeringan bahan baku sekitar 10%, karena jika material terlalu basah akan menjadi lengket dan menutup lubang-lubang pada screen. Untuk mencegah terjadinya kontaminasi dari bahan baku antara kerikil, batu-batuan, logam, serta benda asing biasanya hammer mil juga dilengkapi dengan stone/iron trap dan magnet untuk menghilangkan kontaminan tersebut. Hal itulah mengapa pada umumnya hammer mill dipasang setelah pengering. Percobaan yang dilakukan Mani et al, pengecilan batang kayu dengan hammer mill ukuran menjadi ukuran 3,2 mm mengkonsumsi listrik 25-30 kWh/t sedangkan untuk ukuran 1,6 mm mengkonsumsi listrik 55-60 kwh/ton.
Alat ini terdiri dari pisau sebagai chipper dan serangkaian hammer sebagai hammer mill. Alat ini mampu menghasilkan serbuk kayu seukuran serbuk gergaji dengan mengumpankan biomasa kayu ke dalamnya atau hanya sekali proses. Hal ini karena chipper dan hammer mill telah menjadi satu kesatuan.
Kekurangan alat ini hanya mampu menghancurkan batang kayu dengan ukuran relative kecil dengan maksimal diameter 10 cm. Batang kayu kaliandra dari kebun energi setelah cukup kering bisa langsung diumpankan ke karena ukuran diameter batang kayu kaliandra wood crusher untuk mendapatkan ukuran partikel sesuai untuk bahan baku pellet. Hal ini yang digunakan hanya kecil yakni kurang dari 10 cm. Supaya serbuk kayu yang dihasilkan tidak berhamburan sehingga menjadi polusi dan sulit handling-nya maka pada umumnya cyclone ditambahkan untuk menangkap serbuk kayu yang dihasilkan.

Drying Pemadatan atau densifikasi biomasa yang efisien sangat tergantung dari ukuran partikel bahan bakunya, seperti halnya kadar air dalam bahan baku tersebut. Dryer atau pengering digunakan untuk menyetel kadar air sampai tingkat yang diinginkan. Dryer dikelompokkan menjadi dua, yakni : pengeringan alami dan pengeringan buatan. Tentu pengering alami adalah yang paling mudah dan murah. Tetapi sejumlah percobaan membuktikan bahwa kadar air optimum untuk skala industri tidak bisa dicapai dengan pengering alami ini. Sehingga pengering buatan-lah yang bisa diandalkan. Saat ini ada beberapa dryer dipasaran, yakni :tube bundle dryer, drum/rotary dryer, belt dryer, low temperature dryer, superheated steam dryer dan fluidized bed dryer. Drum/rotary dryer-lah yang paling umum digunakan untuk industri wood pellet. Proses pemanasan drum/rotary dryer dapat secara langsung (directly) atau tidak langsung (Indirectly). Pada pemanasan langsung yakni menggunakan flue gas dengan suhu berkisar 350-600 C yang dihasilkan dari tungku sebagai sumber panasnya. Sedangkan pada drum/rotary dryer dengan pemanasan tidak langsung (indirect rotary dryer) proses pemanasan menggunakan alat penukar panas (heat exchanger) untuk mengeringkan bahan baku. Indirect rotary dryer lebih aman tetapi juga lebih mahal sehingga hampir semua pabrik pellet menggunakan direct rotary dryer dengan dilengkapi sejumlah alat safety seperluanya. Untuk menghasilkan gas panas, tungku digunakan. Berbagai bahan bakar bisa digunakan untuk menjalankan tungku tersebut : seperti LPG, BBM, limbah biomasa dan sebagainya.
Limbah biomasa adalah pilihan sebagian besar pabrik pellet karena paling ekonomis. Drum dryer berbentuk silindris dengan sejumlah sirip (flight) pada bagian dalam untuk membantu pengeringan secara homogen dan mentransport bahan didalamnya. Cyclone umumnya dipasang pada bagian akhir rotary dryer untuk memisahkan bahan yang kering dengan aliran udara panas. Sewaktu proses pengeringan dalam pengering sejumlah senyawa organik diemisikan ke atmosfer. Senyawa organik tersebut dikelompokkan menjadi dua, yakni volatile organic compound (VOC) dan condensable compound.Selain itu juga terdapat particulate emission.Ada sejumlah peralatan untuk menurunkan emisi tersebut.Hal tersebut tergantung dari kriteria emisi gas yang diberlakukan dan peraturan lingkungan daerah yang bersangkutan, yang sangat bervariasi dari berbagai wilayah.Particulate emission pada umumnya bisa diatasi secara efisien dengan cyclone atau bag filter.
Proses conditioner yakni menambahkan kukus kering (superheated steam) sering dilakukan pada pabrik skala besar. Proses ini umumnya akan menaikkan kadar air dari bahan baku hingga 2%, yang nantinya juga akan dipisahkan lagi sewaktu di cooler. Selain meningkatkan kualitas dan kuantias pellet yang dihasilkan, conditioning juga meningkatkan keawetan dari ring die dan roller pada pelletiser. Proses produksi pellet dari kayu kaliandra dengan kapasitas 1 ton/jam yang dilakukan di Bangkalan, tidak melakukan conditioning, karena akan meningkatkan investasi biaya peralatan dan biaya produksi.

Mesin pelletizer kapasitas 10,5 ton/jam Saat ini ada dua macam alat pemellet (pelletiser) yakni : pelletiser ring die dan flat die. Pelletiser ring die lebih popular dan banyak digunakan. Komponen utama pelletiser adalah die dan roller. Pelletiser ring die terdiri dari ring die yang berputar mengelilingi roller yang diam. Bahan baku yang “terjebak” ke dalam ruangan antara roller dan die kemudian dipress melalui lubang die (channel). Distibusi bahan baku dalam ruangan antara die dan roller sangat esensial untuk mendapatkan pellet dengan kualitas memadai. Pellet yang dihasilkan selanjutnya meninggalkan pelletiser dengan panjang tak terbatas, untuk itulah pisau khusus ditambahkan untuk memotong pellet tersebut pada panjang yang dikehendaki (biasanya kurang dari 40 mm). Pelletiser dibedakan berdasarkan : press ratio, jumlah lubang die (channels) dan area bagian alam dari channels. Press ratio adalah rasio antara diameter dan panjang lubang dan ini sangat tergantung dari bahan baku yang digunakan. Pada biomasa kayu seperti kaliandra berkisar antara 1:3 hingga 1:5. Dan tekanan yang digunakan berkisar 3-5 Mpa/s.

Treatment pasca pemelletan Cooling Suhu pellet ketika keluar dari pelletiser biasanya berkisar antara 80-130 C. Selain sulit handling-nya pada suhu tersebut, proses cooling juga meningkatkan mechanical durabilitydanmengurangi kadar air hingga 2%. Counter flow cooler adalah tipe cooler yang paling umum digunakan di industri pellet. Mekanisme pendinginannya yakni udara dingin masuk melalui bagian bawah, sedangkan pellet masuk melalui bagian atas. Udara dingin ini mengambil panas dan uap air yang keluar dari pellet dan meninggalkan cooler.Sejumlah particulate emission terikut dalam udara yang keluar dari cooler.Untuk itu cyclone untuk mereduksi particulate emission juga dipasang pada bagian pengeluaran cooler tersebut. Setelah cukup dingin lalu pellet masuk ke bagian pengemasan.

Handling Pellet-Packing & Storage
Tumpukan pellet terbuka akan cenderung menyerap air yang menyebabkan pellet menjadi rapuh dan mengundang aktivitas mikrobia. Mikrobia tersebut mengeluarkan emisi CO, CO2 dan meningkatkan suhu pellet tersebut. Seandainya ada percikan api membuat mudah terbakar, selain itu emisi CO khususnya membahayakan bagi kesehatan dan keselamatan manusia.Pastikan Sehingga handling pellet perlu dilakukan dengan cermat.

Untuk pemasaran pellet harus dikemas dengan kapasitas tertentu. Pellet bisa dikemas kemasan kecil (10-25 kg) atau dengan jumbo bag (500-1000 kg). Industri pellet selanjutnya menyimpan pellet tersebut untuk sementara sebelum dipasarkan. Karena pellet sangat higroskopis dan mudah hancur karena terkena air maka perlu diproteksi dengan baik, yakni dengan memberi alas seperti pallet kayu pada tumpukan pellet. Sedangkan pada produksi wood pellet skala besar, wood pellet tidak dikemas tetapi berupa curah (bulk) dimasukkan dalam vessel kapal.

POTENSI USAHA KEBUN ENERGI


Sebuah Integrasi antara Mitigasi Perubahan Iklim, Perbaikan Lingkungan dan Penguatan Sosial Ekonomi. Sekitar satu dasawarsa, kontestasi paradigma perubahan iklim dan perdagangan karbon tak pernah berhenti. Isu ini memberi pesan bahwa dibalik ancaman mengerikan akibat perubahan iklim terdapat harapan besar untuk memperoleh keuntungan jual beli karbon bila ada upaya mitigasi. Selain itu juga ada iming-iming bahwa dengan menyimpan karbon dalam bentuk biomasa atau menahan nafsu tidak menebang pohon dengan alasan Pengelolaan Hutan Lestari (SFM) akan memperoleh kompensasi. Daripada berharap pada hasil perdebatan penurunan emisi dan kompensasi negara-negara maju tersebut, lebih baik kita realistis memikirkan bagaimana ikut berpartisipasi dalam mengurangi emisi di negara kita sendiri tanpa menggantungkan nasib dari negara lain.

 Kita semua sepakat bahwa perubahan iklim telah berdampak buruk pada kehidupan lingkungan. “Little but is not the least!”. Act locally, think globally. Gagasan ini adalah bagaimana mengembangkan sebuah lokus baru cara mitigasi perubahan iklim melalui integrasi antara kebun energi kaliandra dan pabrik wood pellet . Konsep ini selain meningkatkan tutupan lahan pada areal kritis juga akan mengurangi tekanan terhadap hutan rakyat, sekaligus menyasar pada konsep carbon neutral. Konsep ini sangat menarik dan relevan dengan apa yang menjadi indikator ketercapaian program dalam memperkuat DAS dan meningkatkan perekonomian masyarakat dalam konteks Perhutanan Sosial.

Konsep carbon neutral, meski masih ada yang memperdebatkan diakui secara operasional lebih manageble. Konsep ini mengatakan bahwa CO2 yang terserap di dalam tanaman melalui proses fotosintesis akan menjadi karbon padat, dan dilepaskan kembali ketika dibakar sehingga hasilnya kosong-kosong atau netral dimana efeknya adalah kenaikan nol tingkat karbon dioksida (CO2) dalam atmosfir. Lebih jauh lagi, ketika bahan bakar berbasis biomasa seperti wood pellet dibakar, maka bersamaan dengan proses itu kita bisa mengerem laju pembakaran bahan bakar berbasis fosil seperti batu bara atau minyak bumi ke udara setara dengan jumlah wood pellet yang dibakar. Itulah praktek penerapan carbon neutral yang sederhana.

Wood pellets adalah energi terbarukan sebagai salah satu barang (energi) substitusi terhadap bahan bakar fosil seperti batubara dan bahan bakar minyak (BBM). Batubara dan minyak bumi yang tersimpan di perut bumi pasti akan menjadikan tingkat emisi karbon yang luar biasa jika dibakar menjadi energi. Wood pellets kini merupakan primadona bahan bakar biomasa sebagai pengganti batubara yang banyak dipakai oleh konsumen di negara-negara maju sebagai bahan bakar tanur pembangkit energi listrik dengan kapasitas besar sampai ke level penggunaan rumah tangga sebagai penghangat ruangan dan kompor biomassa. Walaupun demikian, karena alasan ekonomi, upaya konservasi energi tidak semuanya bisa lepas 100% dari ketergantungan batubara. Teknologi Cofiring mengacu pada pembakaran dua jenis bahan pada saat yang sama. Pembangkit tenaga listrik berbahan bakar padat seperti batubara dapat dicampur dengan bahan bakar wood pellets. Cofiring secara teknikal memberikan pembakaran yang lebih cepat kepada batubara, disamping mengurangi jumlah gas rumah kaca dari hasil pembakaran 100% batubara.

Secara ekonomis bisnis wood pellet sangat menggiurkan, dimana permintaan wood pellet dunia masih jauh lebih tinggi dari supplynya. Korea Selatan saja setiap tahunnya perlu 2 juta ton sedangkan yang tersedia baru 700 ton. Di negara yang terkenal dengan Gangnam Style ini, jika ada pabrik wood pellet yang didirikan pemerintah harus memberikan subsidi. Di negara ini juga ada aturan khusus mengenai pembangkit listrik yang menggunakan system RPS (pemerintah memberikan aturan pada PLTU untuk wajib menggunakan Wood pellet). Sedangkan di Jepang menggunakan system FIT yaitu insentif tarif. Jika menggunakan wood pellet maka pemerintah Jepang wajib memberikan subsidi juga. Di China dengan memaksa rakyatnya menggunakan wood pellet, jika tidak menggunakan maka usahanya akan ditutup, demikian sekilas cerita Mr. Park dalam kunjungan studi banding proyek ICCTF ke Wonosobo. Lalu bagaimana dengan Indonesia, bagaimana kebijakan penggunaan energi terbarukan di Indonesia? Bagaimana kebijakan dan dukungan pemerintah untuk program bioenergy dan energi terbarukan untuk saat ini dan masa depan? Apakah jika kita mengembangkan wood pellet di Indonesia akan memperoleh subsidi seperti negara-negara lain?

Konsep sederhana mengenai carbon neutral, mitigasi perubahan iklim, dan pemberdayaan sosial masyarakat. Kebun energi (Biomass Energy Estate) adalah sebuah hamparan lahan yang ditanami jenis-jenis tanaman tertentu yang nantinya akan dipanen sebagai bahan baku pembuatan bahan bakar biomasa. Sebetulnya cukup banyak jenis yang cocok digunakan sebagai tanaman Kebun Energi selain kaliandra seperti glirisidea, lamtoro, akasia, dan lain-lain, namun pemilihan kaliandra didasarkan pada alasan yang sangat masuk akal. Kaliandra adalah jenis tanaman perdu yang gampang dan cepat tumbuh di lahan miskin hara, miskin air, namun bisa menyuburkan tanah melalui fiksasi Nitrogen dalam tanah. Kayu kaliandra juga menghasilkan kalori yang tinggi ketika dibakar (4,7 kkal) sehingga banyak masyarakat menggunakannya untuk kayu bakar. Daun kaliandra juga banyak dipakai sebagai pakan ternak yang potensial. Bunga kaliandra memberi daya pikat buat lebah madu, sehingga membuka peluang untuk bisnis madu dari nektar bunga kaliandra.

Rekomendasi Dr Prijanto Pamoengkas, ahli silvikultur IPB juga menyatakan bahwa keunggulan arsitektur pohon Calliandra callothyrsus atau kaliandra merah dengan silvikultur terubusan atau coppice system sangat cocok dalam segala hal untuk dijadikan pilihan jenis tanaman kebun energi yang bisa menghasilkan energi wood pellets setara dengan energi batubara. Berapa sebenarnya luasan kebun energi yang optimum bisa mencukupi kebutuhan industri wood pellet? Mari kita membuat hitungan sederhana sebagai berikut: Dengan memilih spesies Caliandra Callothyrsus kita bisa menghitung berapa areal kebun energi yang dibutuhkan.

Menurut data riset,kaliandra bisa menghasilkan 15-40 ton/ha/year atau 27 ton/ha/year rata-rata dengan jarak tanam 1 m x 1 m (Tangenjaya et.al.1992).  Kapasitas industrinya adalah 1 ton per jam, dan dengan asumsi bahwa jam kerja efektif pabrik adalah 7 jam sehari, maka pabrik akan menghasilkan 7 ton per hari. Berapa hektar kebun energi yang dibutuhkan untuk memproduksi raw material wood pellet dengan output wood pellet 1 ton perjam atau 7 ton sehari? Menurut hasil penelitian, raw material yang dibutuhkan untuk memproduksi 1 ton wood pellet adalah sebanyak 1,5 ton atau satu setengah kalinya jika kadar air raw material tersebut 40%. Namun jika kadar air mencapai 10% (sangat kering) maka input raw material bisa 1:1,1. Walaupun iklim kering, kita bisa mengasumsikan kebutuhan raw material adalah sebanyak 10,5 ton dengan kondisi batang basah. Jika 1 tahun 365 hari, dan setiap hari Jumat libur, maka kurang lebih ada 317 hari kerja dalam setahun, dibulatkan menjadi 310 karena ada beberapa tanggal merah dalam setahun. Jadi kebutuhan raw material dalam 1 tahun adalah 10,5 ton x 310 hari = 3.255 ton/ tahun. Dengan mengambil angka rata-rata penelitian Tangenjaya bahwa produksi kaliandra perhektarnya sebanyak 27 ton/ha, kita akan memperoleh angka 3.255/27 = 121 ha. Jika kita mengambil nilai terendah produksi kaliandra 15 tons/ha, kita akan butuh lahan 3.255/15 = 217 ha. Sehingga, diperlukan mempersiapkan lahan seluas 121 ha to 217 ha tergantung pada kondisi kesuburan tanah dan kemampuan tumbuh kaliandra di tempat tersebut. Seberapa luas rata-rata kebun energi akan dipanen dalam 1 hari? Maka akan kita hitung 121 ha : 310 hari = 0.39 ha

Tidak gampang memperoleh lahan yang cukup luas yang digunakan sebagai Kebun Energi karena selain kawasan hutan yang semakin menciut, konflik dan tumpang tindih tatarung lahan bisa menyulitkan pengelolaan. Ketersediaan lahan yang dipakai untuk kebun energi sangat penting untuk memberi kepastian panen kayu kaliandra secara lestari. Karena bagi konsep ini, kebun energi harus disesuaikan dengan model siklus pengaturan hasil kayu kaliandra – mengatur jadwal panen agar pasokan kayu tidak tekor setiap kali dibutuhkan oleh industri wood pellet.

Kelembagaan lokal yang sudah tertata biasanya memiliki aturan-aturan internal diantara anggota, legalitas lembaga seperti Koperasi, hak dan kewajiban anggota, serta micro finance untuk mendukung perekonomian lokal. Banyak dijumpai lahan yang ditinggalkan pemiliknya merantau ke daerah lain tanpa dikelola dengan baik menjadi lahan kosong atau lahan yang di-bera-kan. Target dari penanaman kebun energi sebetulnya adalah lahan yang kosong dan tidak dimanfaatkan oleh pemiliknya. Namun banyak pula anggota kelompok tani yang mengembangkan model agroforestry dimana kaliandra ditanam bersama-sama tanaman pertukangan atau pertanian. Disini pula Kelompok Tani dan kelembagaan lokal berperan aktif dalam mewujudkan kontrak sosial terutama terkait lahan yang akan digunakan untuk kebun energi.

Konsep ini menganggap penting melakukan kegiatan pengumpulan baseline data terkait dengan kondisi sosial, budaya, dan ekonomi masyarakat terutama pada saat t-0 dimana aktivitas ekonomi dari proyek ini belum dilaksanakan. Kemudian, pada saat pemanenan kebun energi dan industri wood pellet sudah jalan yang ditandai dengan terjadinya proses transaksi ekonomi antara masyarakat (kelompok tani) dengan industri wood pellet. Diharapkan kegiatan ekonomi pabrik wood pellet dan supply-demand kayu kaliandra bisa berjalan baik dimana memungkinkan terjadinya proses scaling up di daerah-daerah yang lain. Bahkan sangat berharap munculnya dana bergulir atau revolving fund, walaupun prakteknya akan cukup sulit.

Pengelolaan Wood Pellet Berbasis Masyarakat
Pengembangan pabrik wood pellet dapat dirancang memiliki kapasitas 4 ton per jam. Namun untuk mengembangkan pabrik dimulai dengan kapasitas 1 ton per jam yang disebut sebagai inkubator industri wood pellet. Dengan kapasitas terpasang pabrik 1 ton perjam dengan jam kerja 7 jam sehari akan dibutuhkan sekitar 11 ton bahan baku wood pellets setiap harinya. Jika bahan baku kaliandra belum siap maka penggunaan limbah kayu dari jenis lain seperti ranting-ranting jati, akasia, lamtoro, dan gliriside telah disiapkan. Ini adalah laboratorium lapangan yang sangat menarik, sehingga istilah inkubator mengacu pada proses pembelajaran buat proyek dan buat masyarakat. Pabrik wood pellet ini harus beroperasi setiap harinya untuk menopang kegiatan ekonomi kelompok tani gerbang lestari di Geger Bangkalan. Untuk manajemen pabrik diperkerjakan masyarakat lokal yang berpotensi baik, termasuk tehnisi mesin-mesin yang berpengalaman. Karena tidak sepenuhnya berwatak akumulasi kapital, entitas bisnis wood pellet Gerbang lestari menerapkan nilai-nilai lokal yang agamis dengan manajemen global.

Pengolahan wood pellet berbasis masyarakat diarahkan pada pemenuhan beberapa prakondisi sebagai berikut:
Bangunan pabrik, min seluas 200 m2 untuk kapasitas 1 ton per jam
Sirkulasi udara yang baik
Aspek legalitas bangunan dan ijin industri: TDI, SIUP, HO, IMB dan legalitas lain yang relevan Pengadaan mesin-mesin produksi terdiri dari: chipper, rotary dryer, hammer mill, peletizer, cooler, dan packaging dari perusahaan yang berpengalaman
Sumber Listrik PLN 3 phase, 190 KVA untuk menggerakkan mesin-mesin wood pellet
Tersedianya tenaga kerja yang trampil
Tersedianya bahan baku kayu kaliandra merah  sesuai kapasitas industrinya
 Tersedia pasar wood pellet dengan harga kompetitif. Untuk ekspor maka sertifikasi SVLK dan sertifikat produk perlu dipersiapkan
 Aksesibilitas yang baik, terutama menuju pada Pelabuhan Internasional

Jika Anda ingin membuat sendiri pabrik wood pellet prosedur yang dilakukan lebih sederhana dan pengambilan keputusan bisa cepat dilakukan. Hasil kajian analisis usaha wood pellet sangat menguntungkan dalam kurun waktu tertentu karena permintaan wood pellet ini masih sangat tinggi. Komponen biaya produksi terbesar adalah pengadaan bahan baku dan biaya pengangkutan menuju pasar ekspor. Pasar lokal di dalam negeri masih sangat terbatas dengan penawaran harga yang rendah sekitar Rp 1 juta per tonnya. Ini jauh berbeda dengan harga ekspor sekitar 150 USD s.d 220 USD walaupun persyaratan ekspornya juga cukup rumit.

Koperasi Rumah Ilmu telah menyusun sebuah Model Bisnis yang berisi aturan dan prosedur produksi wood pellet. Bahkan aturan mengenai profit sharing juga telah disepakati yang memungkinkan lahirnya bentuk-bentuk pola kerjasama antara petani hutan dengan industri wood pellet yang dikelola oleh masyarakat juga. Untuk menjamin keberlanjutan produksi wood pellet. Hal yang paling krusial adalah dua elemen kunci yaitu kualitas mesin-mesin wood pellet yang baik dan pemasaran wood pellet yang bisa kontinyu dengan harga yang memadai secara ekonomi. Mesin-mesin wood pellet harus diproduksi oleh Pembuat mesin yang berpengalaman dan pernah meng install mesin-mesin wood pellet serta berhasil memproduksi wood pellet yang berkualitas internasional.
Prof. Yanto Santosa dosen IPB yang ahli dalam produksi wood pellet mengatakan bahwa jaminan mesin-mesin wood pellet ini bisa dilihat dari apakah sudah berlisensi SNI (Standar Nasional Indonesia)? Dan pertanyaan berikutnya, Apakah produk-produk wood pellet telah teruji kualitasnya sesuai dengan standar pasar? Banyak Badan Penguji di Indonesia yang mampu melakukan pengujian wood pellet yaitu: Sucofindo, SGS, dan Puspitek Serpong. Sertifikat hasil uji produk ini menjadi syarat pemenuhan standar konsumen wood pellet.
Yang penting dalam proses pengadaan mesin ini adalah jangan asal membeli mesin wood pellet dan jangan asal murah karena investor pasti tidak ingin pabriknya hanya berumur sebulan atau kalaupun jalan, uang banyak terkuras untuk perbaikan mesin dan trial produksi. Bahwa suatu bisnis besar yang berpengaruh dalam suatu wilayah akan memberi pengaruh yang menguntungkan bagi bisnis-bisnis lain dan konsumen-konsumen lainnya. Ini berarti bahwa keberadaan sebuah unit bisnis di suatu wilayah dapat menciptakan bisnis baru dan permintaan baru. Dalam usaha wood pellet  dapat menimbulkan berbagai bentuk bisnis baru buat masyarakat baik yang terlibat langsung dalam kebun energi maupun masyarakat di luar kelompok tani, misalnya usaha perlebahan yang berkembang karena ada kebun energi kaliandra, penjualan sekam padi dan serbuk gergajian karena ada kebutuhan bahan bakar dryer bahan baku wood pellet, usaha kemasan air minum dengan semakin banyaknya mata air bersih yang ditemukan, usaha pembuatan kompor biomasa wood pellet yang diperjual belikan di tingkat lokal, serta kemungkinan tumbuhnya usaha toko dan warung makan ketika aktivitas kebun energi dan pabrik menjadi ramai.

Penggunaan kompor biomasa berbahan bakar wood pellet
Konsep proyek ini secara umum sebenarnya ingin memadukan antara sains-nilai-nilai (values) dan bisnis. Teknologi produksi wood pellet saat ini termasuk teknologi dengan level komplikasi rendah s.d sedang sehingga buat masyarakat masih bisa menjalankan pabrik ini termasuk bagaimana menjalankan pemasaran secara ekspor. Pada tahap awal mungkin akan dilibatkan konsultan untuk membantu menangani dan mengajarkan bagaimana melakukan ekspor. Model Bisnis yang dikembangka juga memungkinkan masyarakat untuk berbagi keuntungan (profit sharing) dan mendukung kegiatan-kegiatan sosial masyarakat. Salah satunya dalam Pengajian rutin masyarakat bisa disisipi dengan penyuluhan bagaimana mengembangkan bisnis kebun energi dan pabrik wood pellet.

Pemetaan Pemangku Kepentingan (Stakeholder) Sebelum proyek dijalankan seharusnya sebuah pekerjaan untuk memetakan para pemangku kepentingan dilakukan dengan cermat. Pemetaan stakeholder akan memberikan informasi yang penting untuk mengetahui tingkat resiko dan pengendalian proyek.  Kebijakan otonomi daerah yang dominan, berbagai proyek yang dilaksanakan di daerah harus memperhatikan bagaimana mekanisme pelibatan unsur daerah dalam proyek tertentu. Jika kita salah strategi dalam menjalankan proyek terkait bagaimana melibatkan peran pemerintah daerah dan tokoh masyarakat, maka aktivitas proyek bisa terhambat oleh persoalan-persoalan yang tidak perlu. Pemetaan stakeholder juga akan mengkaitkan peran stakeholder yang satu dengan stakeholder yang lain. Di tingkat Kabupaten, Bupati adalah bak seorang Raja, dan Dinas Kehutanan adalah salah satu menteri di wilayah Kabupaten. Mereka berhak mengatur wilayahnya sesuai dengan kebijakan Pemerintah Daerah termasuk proyek-proyek pemerintah yang dianggarkan di tingkat Kabupaten. Pemerintahan dibawahnya adalah Kecamatan dan Desa yang memiliki peran ikut mengontrol dari aspek kewilayahan termasuk keamanan. Lingkungan Pesantren hampir dijumpai di setiap Kecamatan bahkan Desa, dimana masing-masing punya Tokoh agama yang digugu dan ditiru. Masyarakat dan Petani adalah stakeholder di tingkat grass root yang perlu mendapat perhatian khusus.
Hal ini juga tidak hanya bertujuan untuk mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi, tetapi juga untuk memperkuat dan memperluas peran hutan sebagai carbon pool melalui penjagaan konservasi hutan, pengelolaan hutan yang berkelanjutan, dan penguatan stok karbon hutan. Terkait dengan tujuan tersebut, REDD+ diimplementasikan melalui penanaman pohon dan rehabilitasi lahan-lahan kritis. energi terbarukan berbasis bomasa adalah aktivitas yang berperan penting dalam mengurangi emisi karbon. Wood pellet yang menjadi fokus dalam proyek ini adalah satu jenis energi terbarukan berbasis biomasa.

Tindakan yang diperlukan oleh Indonesia dalam rangka mengurangi kadar emisi harus menganut prinsip MRV : measurable, reportable, and veriviable. cara sebagaimana mekanisme yang potensial untuk mengurangi emisi dimana MRV diimplementasikan menggunakan:
(1) IPCC Guidelines – 2006: AFOLU (Agriculture, Forestry, Other Land Use);
(2) kombinasi antara penginderaan jauh & ground-based inventory,
(3) menghitung pada 5 kumpulan karbon, dan
(4) hasil dari penghitungan karbon seharusnya transparan dan terbuka untuk di review.

Penyerapan karbon dalam biomas pohon dapat di inventarisasi melalui beberapa prosedur yang telah dikembangkan oleh BPKH XI sebagai berikut: Pemetaan Areal Untuk akurasi pengukuran dan monitoring setelah pengukuran, batas-batas areal harus diukur secara cermat dan dipetakan dengan baik untuk memenuhi persyaratan registrasi proyek. Batas-batas areal harus dipetakan dengan metode pemetaan yang valid yaitu: ◦ Areal akan bervariasi dalam luasan 10 ha-100.000 ha ◦ Area dapat tersebar atau berada dalam satu bentang lahan (landscape) ◦ Kepemilikan lahan atau unit pengelolaan Startifikasi Areal Beberapa variabel yang dapat digunakan adalah: Penggunaan lahan (Land use) Tipe vegetasi (Vegetation types) Kelerengan (Slope) Iklim (Climate) Ketinggian (Altitude) Penetapan kumpulan karbon (carbon pool) dapat dihitung dengan: Ketersediaan metode, tingkat akurasi yang diinginkan, dan ketersediaan dana untuk proses pengukuran dan monitoring Sasaran dari pengukuran dan pendugaan Percepatan Untuk afforestation dan deforestation yang mana terminologi proyek di bawah 60 tahun akan menjadi ekonomis dan efisien dengan menghitung live tree biomass (di atas dan di bawah tanah) Desain Sampling — Plot Permanen (mortality, ingrowth) — Jumlah plot : ◦ Tergantung pada level akurasi dan strata (kondisi keberagaman) ◦ Jumlah plot yang diperlukan tergantung pada jumlah variable yang mengacu pada stok karbon — Bentuk plot dapat berupa : quadratic, strip, atau lingkaran Stok Karbon di wood pellet Stok karbon pada wood pellet dapat dibebaskan ke atmosfir ketika dibakar. Jika wood pellet tersebut digunakan untuk substitusi atau cofiring dengan bahan bakar fosil yang lain misalnya batubara, ini dapat dinyatakan bahwa jumlah emisi CO2 yang dibebaskan ke udara adalah sama dengan karbon yang diserap melalui proses fotosintesis. Secara umum pengukuran karbon pada konsep ini adalah mengukur stok karbon dalam Kebun Energi dan stok karbon pada wood pellet yang akan dijadikan baseline data. 1.6. Scaling up dan Sertifikasi Dalam konteks kedaerahan, lahan kritis di Kabupaten Bangkalan, Madura diperkirakan seluas 66.797 ha atau 52% dari total areal Kabupaten seluas 127.518 ha (Data statistik RRL Jawa Timur, 2007). Prosentase yang hampir sama terjadi di tiga kabupaten lainnya yaitu Sampang, Pamekasan, dan Sumenep. Sebuah upaya luar biasa telah dilakukan oleh Masyarakat di Kec Geger Bangkalan Madura dan para santri Pondok Pesantren Darrul Ittihad pada tahun 70 an yang memperoleh dukungan dari Dinas kehutanan setempat dan tokoh-tokoh masyarakat lokal yang peduli dengan penghijauan dengan menghijaukan bukit-bukit Geger yang tandus. Dampaknya banjir tahunan di Arosbaya semakin berkurang sejak tahun 2000 an. FMU Gerbang lestari di Kombangan Geger telah memperoleh sertifikat pengelolaan hutan berbasis masyarakat lestari LEI pada tahun 2010 yang sebelumnya telah meraih kalpataru. Kondisi yang baik ini kemudian menarik untuk dikembangkan lebih lanjut menjadi proyek percontohan kebun energi dan industri wood pellet berbasis masyarakat. Proyek yang berhasil di tingkat daerah harus bisa di replikasikan di daerah lain. Project ICCTF-MoFOR ini fokus pada pengembangan kebun energi dan industri wood pellets dalam rangka mendukung program mitigasi perubahan iklim dan mendorong low carbon economy. Jika konsep kebun energi kaliandra dan industri wood pellet di bangkalan madura berhasil, maka ini akan menjadi teladan bagi daerah-daerah yang lain. Pengembangan dalam skala luas untuk kebun energi dan industri wood pellet diproyeksikan akan memberikan dampak positif yaitu: (1) mitigasi perubahan iklim melalui penyerapan karbon di kebun energi dan substitusi penggunaan bahan bakar fosil dengan wood pellet, (2). Rehabilitasi tanah kritis/ terbuka/ tidak produktif dan menyuburkan tanah, (3). Kualitas hidup masyarakat yang diperbaiki melalui penguatan sosial ekonomi lokal dan perekonomian mikro. Untuk memperoleh keberterimaan pasar di leval internasional kebun energi FMU Gerbang lestari dan Industri wood pellet berbasis masyarakat ini perlu dipersiapkan menuju sertifikasi yang diakui internasional. Ada 3 tipe sertifkasi yang perlu dipersiapkan yaitu: 1. Sertifikasi produk ; 2. Sertifikasi SFM atau PHBML dan 3. Sertifikasi Legalitas Produk Kayu menggunakan skema SVLK (Sistem Verifikasi Legalitas Kayu). Sertifikasi produk berkaitan dengan jaminan kualitas produk wood pellet sesuai dengan keinginan dan standar internasional yang berhubungan dengan standar bahan bakar biomasa. Lembaga sertifikasi di Indonesia bisa melakukan pengujian mutu terkait dengan kalori yang dihasilkan, kadar abu, tingkat emisi, dll. Sertifikasi pengelolaan hutan lestari dikembangkan oleh Lembaga Ekolabel Indonesia/LEI dan FSC (Forest Stewardship Council). FMU Gerbang lestari telah memperoleh sertifikat LEI namun belum memperoleh sertifikat FSC yang memiliki keberterimaan pasar yang luas di Eropa dan Amerika. Dan yang ketiga adalah sertifikat SVLK atau legalitas kayu. Skema ini adalah skema wajib yang dikenakan pada seluruh industri perkayuan di Indonesia terutama yang produknya di ekspor ke Uni Eropa. Indonesia terikat dengan perjanjian VPA (Voluntary Partnership Agreement) dengan Uni Eropa dimana produk Indonesia harus legal dibuktikan dengan adanya FLEGT License yang diakomodir oleh mekanisme SVLK sebagai V-Legal Certificate. Tentunya dengan adanya inisistif sertifikasi ini akan menambah biaya, namun jika harga produk bersertifikat jauh lebih tinggi, why not? [1] Daru Asycarya, Project Manager of ICCTF MoFor, Direktur Utama IDEAS Consultancy Services [2] Protokol Kyoto adalah kesepakatan global di bawah United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) yang ditandatangani pertama kali pada COP 3 tahun 1997. Kesepakatan ini mengatur penurunan emisi oleh negara-negara industri maju dan bersifat mengikat para pihak-legally binding. [3] Konsep ini awalnya digagas oleh Dr. Yetti Rusli dan disempurnakan oleh IDEAS Consultancy Services. Gambar di atas di layout oleh Catur Teguh Oktavianto, staff PMU http://daruasycarya.wordpress.com

KALIANDRA CALOTHIRSUS

Kaliandra merah (calothirsus) merupakan tanaman pagar yang perakarannya kuat karena tipe akarnya yang masuk ke dalam. Karakteristik ini lah yang dipakai alasan mengapa kaliandra sangat cocok untuk tanaman pagar pada tanah yang mempunyai kemiringan tajam. Kaliandra berbunga sepanjang waktu tanpa mengenal musim. Bila menanam mulai biji, kaliandra akan mulai berbunga pada maksimum usia 2 tahun. Kaliandra tahan pada tanah yang terbatas airnya,kering dan tandus, karena perakarannya yang dalam, kaliandra mampu mengikat air sehingga dapat dipakai untuk merehbilitasi kandungan air tanah. Saat tanaman sudah setinggi 1 meter, akan bisa bertahan dan tumbuh subur meskipun saat musim kering (kemarau). Kaliandra akan berbunga dan tumbuh subur pada kondisi cuaca yang ekstrim (panas >33 derajat celcius) dan daerah yang tandus, akan tetapi perkembangan generatif terganggu, bunga rontok sebelum jadi buah dan biji,sehingga untuk perbanbanyakannya dengan vegetatif (cangkok, stek, dll). Pada setiap pagi, bila kita amati, di pangkal benang sari terdapat titik2 air berwarna kekuningan, dan bila dijilat berasa manis. Itulah nektar yang disukai lebah, sehingga kaliandra menjadi tanaman primadona bagi pelebah. Sebuah survey di Eropa, dengan 1 ha luasan tanah untuk budidaya kaliandara dalam satu tahun mampu menghasilkan 2 ton madu. Bayangkan, di Eropa terdapa 4 musim, dimana saat musim dingin semua tanaman hampir dipastikan mengalami hibernasi, sehingga tidak ada sedikitpun sumber makanan lebah alami. Sedangkan di Indonesia, kaliandra akan berbunga tanpa mengenal waktu. Saat ini musim penghujan, kaliandra ku masih tetep menampakkan bunganya dengan gagahnya. Sehingga masa-masa deplesi nektar tidak terjadi di Indonesia. Nah, dengan demikian jumlah produksi 2 ton madu per tahun di Eropa dapat terlampaui. 2 ton saat ini setara dengan 2000 kg x Rp50.000/kg atau sekitar 100 juta. Atau bila di kurskan dengan pendapatan per bulan sekitar 8 juta per bulan. Praktis kita hanya butuh alat untuk pemanenan madu saja dan investasi awal koloni. Sungguh sangat menggiurkan. Lahan seluas 1 ha, saat ini sangatlah sulit. Akan tetapi yang perlu diketahui, radius mencari makan lebah 3,2 mill atau sekitar 4.8 km. Artinya berapapun luasan tanah yang kita punya masih sangat menjanjikan. Katakanlah, tanah ukuran 20 x 25 m, bila sebagai tanaman pakar bisa ditanami 90 batang pohon kalindra. sedangkan luasana dalam bisa ditanami pohon berbuah seperti klengkeng dan durian. Bila di tanami klengkeng bisa sekitar 60 batang pohon, bila ditanami durian bisa 20 batang pohon. Disela-selanya bisa ditanami pohon semusim berumur pendek, atau tanaman perdu berbunga yang disukai lebah seperti bunga matahari, lombok, terong, dll. Kaliandra sangat cepat bertunas setelah di potong. karena itu, kaliandra seringkali dipakai untuk sember makanan ternak baik kambing maupun sapi. Pemotongan terjadwal dapat dilakukan untuk menjaga kontinuitas pasokan pakan sepanjang waktu. Kaliandra mempunyai kandungan nutrisi yang baik untuk pakan ternak, hal ini telah dilakukan banyak penelitian mengenai manfaat kaliandra sebagai suplemen makanan ternak. Di Jawa Barat, kaliandra telah dimanfaatkan sebagai sumber pakan ternak kambing dan domba. Di Bedugul, Bali, kaliandra dipakai sebagai pakan sapi. Di berbagai penelitian, telah mempublikasikan kaliandra sebagai tanaman yang sangat mudah beradaptasi dan sebagai tanaman yang mampu merehbilitasi tanah yang tercemar. Di Kalimantan, kaliandra dipakai untuk merehabilitasi tanah bekas tambang batu baru. Kaliandra mampu mengikat unsur2 tertentu (hara) sehingga mampu memulihkan kesuburan tanah, dan juga mampu menguraikan zat pencemar seperti sisa hasil tambang.

Kaliandra sebagai pakan ternak

KALIANDRA SUMBER PROTEIN KASAR DAPAT MEMPERBAIKI BOBOT BADAN DAN PRODUKSI SUSU TERNAK RUMINANSIA Kaliandra (Calliandra Calothyrsus) masuk ke Indonesia. Pada tahun 1936 dari Guetamala. Pada tahun 1974 Perum Perhutani memyebarkan benih ke berbagai desa diwilayah Jawa. Dalam waktu yang singkat,kaliandra di tanam secara luas oleh luas oleh penduduk desa sebagai kayu bakar dan perbaikan tanah. Kaliandra juga sebagai pakan ternak, lebah madu, pupuk hijau, mencegak erosi dalam bentuk tanaman, dan sebagai pelindung tanaman kopi maupun pesemaian serta kayu bakar. Penelitian yang dilakukan oleh Balai menunjukkan bahwa kaliandra dapat diberikan dalam bentuk segar atau silage. Tetapi pemberian kaliandra dalam bentuk layu atau telah dilakukan pengeringan nilai nutrisinya turun secara dratis terutama kecernaan protein. Pemberian kaliandra dicampur dengan legum lain yang tidak mengandung tanin sudah dicobakan pada sapi dan hasilnya dapat memperbaiki performans reproduksi (calon bibit) dan produksi susu. Pemberian kaliandra dalam bentuk segar tidak ada masalah dengan palatabilitas dan pengaruh keracunan serta pengaruh negatif lainnya (Elizabeth dan Tangendaja, 2000). Oleh sebab itu sangat penting dilakukan penanaman kalindra dalam jumlah luas pada daerah-daerah terbuka atau terlantar agar kaliandra dapat ditingkatkan pemanfaatannya.

Kamis, 04 September 2014

kayu sebagai sumber energi

Kelebihan kayu sebagai sumber energi Sebagai salah satu bahan bakar yang banyak dipakai oleh penduduk dunia, kayu memiliki banyak keunggulan sebagai bahan bakar yaitu antara lain: Renewable. Kayu sebagai bahan bakar terbarukan karena bisa diproduksi kembali Energi yang dihasilkan tinggi namun emisi rendah (dibawah 0.1 kg CO2/kWh) Bahan Bakar Karbon Netral . Kayu dari pohon sebagai bahan bakar alternatif selain minyak bumi dan batubara juga sekaligus berfungsi penyerap karbon. Penggunaan bahan bakar kayu sebagai bahan bakar dapat menumbuhkan minat masyarakat menghijaukan lahan sehingga tercipta lingkungan yang lebih baik. Nilai dari diversifikasi produk olahan kayu atau limbah kayu menjadi kayu energi akan meningkatkan pendapatan baik tingkat perusahaan maupun masyarakat. Nilai Ekonomi Kayu sebagai Alternatif Bahan Bakar Sebagian besar perusahaan dan masyarakat menanam pohon untuk dimanfaatkan kayunya. Nilai ekonomis kayu dari pemanenan pohon telah banyak diketahui oleh semua kalangan, namun nilai ekonomi kayu untuk bahan bakar misalnya pellet kayu (wood pellet) belum diketahui. Berikut perbandingan antara nilai ekonomi kayu dan pellet kayu (kayu untuk energi). Kegiatan penebangan pada hutan yang akan dipanen untuk kayu pertukangan sebagian besar dilakukan dengan siste tebang pilih atau tebang habis. Misalnya pada lahan yang ditanami Acacia mangium (Akasia), dengan jarak tanam 3 x 3 meter, dalam satu hektar lahan bisa ditanami sekitar 1100 pohon akasia. Dengan asumsi satu pohon Akasia menghasilkan 1 m3 kayu dengan nilai jual 1 m3 akasia = Rp. 800.000,- / m3, maka, nilai ekonomi dari kayu pertukangan untuk 1 ha adalah Rp. 880.000.000,-(dalam 10-12 thn) Bagaimana dengan nilai ekonomi pelet kayu? Asumsinya bila 1 pohon akasia menghasilkan 1 m3 kayu tebangan dimana berasal dari 75% dari keseluruhan pohon akasia, maka 25% atau sebesar 0,33 m3 merupakan hasil sampingan dari tebangan pohon tersebut. Apabila dalam 8 tahun pohon akasia yang di tebang adalah 20% dari keseluruhan batang pohon akasia per ha sama dengan 220 pohon akasia maka hasil sampingannya adalah 72,6 m3. Jika berat jenis akasia adalah 450 kg / m3 maka dalam satu periode penebangan akasia produk hasil sampingnya sebesar 32,67 ton. Misalnya harga pasar 1 ton pellet kayu di pasar AS berkisar antara US$ 200 – 250 / ton maka dengan asumsi nilai tukar rupiah sebesar Rp. 9000,- nilai ekonomi yang diketahui adalah sekitar Rp. 58.806.000,-. Untuk memudahkan penggunaan pelet kayu di masyarakat, ada teknologi kompor biomassa. Kompor biomassa yang salah satunya dibuat oleh Universitas Brawijaya ini sangat irit bahan bakar. Untuk kebutuhan masak sehari-hari hanya membutuhkan potongan kayu kering sebanyak 700 gram, sehingga mampu mensubstitusi penggunaan LPG atau minyak tanah. (Sumber : “Pengelolaan Hutan Berbasis Rakyat Lestari Dalam Rangka Penguatan Ekonomi Rakyat” oleh Ir. Arifin Lambaga, MSE, PT. Mutuagung Lestari) Apa itu Pelet Kayu (Wood Pellet) Ternyata dari pemanenan pohon, ada hasil sampingan yang nilainya cukup besar salah satunya berupa pelet kayu. Pelet kayu adalah hasil samping dari penebangan pohon seperti dedaunan, ranting, kulit kayu bekas tebangan, serta gergajian. Pelet kayu digunakan tidak saja sebagai bahan bakar rumah tangga, tapi bisa juga untuk pembangkit listrik (PT. Mutu Agung Lestari) Pelet kayu juga merupakan bahan bakar yang “bersih” (ramah lingkungan), bahan bakar CO2 netral, terbuat dari limbah kayu (serbuk gergajian atau cacahan kayu), dikompres dengan tekanan tinggi tanpa menggunakan perekat atau zat aditif tambahan. Bentuknya silinder dengan diameter 6-10 mm dan panjang 10-30 mm. Sebagai bahan bakar berstandar tingggi dan kepadatan tinggi, pellet memiliki biaya transportasi yang efisien dan pengoperatian otomatis untuk pemanas dan energi dari rumah pribadi hingga ke skala instalasi energy yang besar. Pohon yang bisa digunakan sebagai bahan baku pelet kayu berasal dari jenis pohon cepat tumbuh seperti pinus, kaliandra, akasia, sengon dan lain-lain. Menurut Puspijak (2013) Pelet kayu berbentuk silindris dengan diameter 6-10 mm dan panjang 1-3 cm dan memiliki kepadatan rata-rata 650 kg/m3 atau 1,5 m3/ton. Pelet kayu dihasilkan dari berbagai bahan biomassa, terutama limbah serbuk gergaji daripabrik penggergajian kayu dan serbuk limbah veneer dari pabrik kayu lapis atau palet daur ulang. Pelet kayu menghasilkan rasio panas yang relatif tinggi antara output dan input-nya (19:1 hingga 20:1) dan energi sekitar 4,7kWh/kg. Proses pembuatan Pelet kayu cukup sederhana. Bahan baku dikeringkan sampai kadar air maksimal 10% selanjutnya dipres dengan tekanan tinggi dan dipanaskan pada suhu sekitar 120-1800 oC, untuk proses kering. Sedangkan untuk proses basah bisa menggunakan bahan baku dengan kadar air tinggi, ditambah tepung kanji dan air kemudian dipres dengan tekanan tinggi tanpa pemanasan. Kedua sistem ini dilakukan secara kontinu. (Sumber : Pelet Kayu, Bahan Bakar Alternatif Rendah Emisi) Secara ringkas beberapa keunggulan pelet dibandingkan bahan bakar lain adalah sebagai berikut : - Volume lebih kecil untuk dikirim dan disimpan - Bentuk dan kadar air konsisten - Gas yang dapat menguap dapat digunakan untuk kompor dan alat masak - Sedikit abu dan emisi gas - Pelet itu kering dan dapat disimpan tanpa kerusakan - Aliran seperti sebuah cairan dan dapat digunakan untuk mesin otomatis - Mudah penangangannya - Mudah penyalaannya Manfaat Pelet Kayu untuk Masyarakat Pelet kayu selain ramah lingkungan juga membawa dampak bagi masyarakat. Pelet kayu dapat meningkatkan dan mendukung pembangunan hutan berbasis masyarakat (community forest). Hutan komunitas akan tumbuh dan berkembang bila produk pelet kayu bisa diproduksi dan dipasarkan dengan dukungan berbagai pihak. Produksi dan industri Pelet kayu akan mampu menciptakan lapangan kerja bagi masyarakat di sekitar hutan, karena adanya produk sampingan yang sangat diminati dan bernilai ekonomi tinggi. Selain itu hasil hutan non kayu masih dapat dipertahankan sehingga komunitas lokal masih bisa memanen hasil hutan lain. Menurut data dari JAVLEC (2011) dalam Workshop Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat Lestari (PHBML) di Bangkalan 2011, Indonesia memiliki potensi hutan komunitas seluas 22.9 juta hektar. Kondisi eksisting hutan komuniti yang ada baru mencapai 4.29 juta hektar. Berkembangnya industri pelet kayu bisa mendorong semakin meningkatnya partisipasi rakyat untuk membangun dan mengelola hutan berbasis komunitas. Prospek Pelet Kayu Mengingat data dan fakta yang menyatakan bahwa pellet kayu sudah dijadikan sebagai bahan bakar yang dikonsumsi luas dalam skala global, maka prospeknya tentu akan semakin meningkat. Uni Eropa, sebagai pengguna terbesar pellet kayu, akan mensyaratkan Negara-negara anggotanya untuk menggerakkan 20% listrik dari energy terbarukan pada tahun 2020. Berdasarkan data dari AEBIOM and Member State sector organisations dalam situs ihb.de, kebutuhan pellet kayu Uni Eropa dari tahun ke tahun terus meningkat. Tahun 2013, total kebutuhan pellet kayu Negara-negara Eropa mencapai 16 juta ton (sumber disini). Harga pellet kayu berkisar USD 120 per metric ton di Pasar Eropa. Adapun penyedia terbesar pelet kayu saat ini adalah Siberia/Rusia. Indonesia bisa menjadi penyedia potensial berikutnya dengan dukungan dari pemerintah Harapan Masa Depan Pemanfaatan kayu sebagai sumber energi sangat prospektif karena ketersediaan bahan baku yang melimpah (limbah kayu/biomasa), peluang pasar ekspor yang sangat luas dan nilai ekonomi sangat menjanjikan. Pengembangan energi alternatif terbarukan khususnya pellet kayu sebagai sumber energi akan memberi kontribusi positif bagi upaya mitigasi perubahan iklim dunia. Sebagai energi terbarukan, ketersediaan bahan bakar dari biomas atau limbah kayu memiliki jaminan kelestarian. Jika selama ini limbah pemanenan kayu dan limbah pengolahan kayu belum dimanfaatkan maksimal, maka dengan semakin meroketnya harga minyak bumi dan bahan bakar lainnya, penggunaan pelet kayu yang relatif murah dan tidak sarat dengan teknologi tinggi akan menjadi pilihan utama dan digunakan luas di berbagai belahan dunia bahkan sampai ke pedesaan. Kayu sebagai sumber energi terbarukan, ramah lingkungan dan bernilai ekonomis akan mampu berkibar di masa depan sebagai bahan bakar alternatif yang prospektif. Bila kita menatap masa kayu energi yang cerah, kita juga akan berharap hutan pun semakin meningkat luasnya sehingga bumi bisa memulihkan diri dan semakin hijau.

PENGEMBANGAN PELET KAYU (WOOD PELLET) SEBAGAI SUMBER ENERGI TERBARUKAN RENDAH EMISI DI INDONESIA

Latar Belakang Setiap aktivitas yang dilakukan masyarakat modern sangat bergantung pada ketersediaan energi. Kemajuan suatu negara akan sangat terkait dengan kecukupan ketersediaan dan ketahanan energi di negara tersebut. Pada negara-negara maju seperti Amerika, Jepang, dan negara-negara Eropa lainnya, bahkan Korea, ketersediaan energi sangat memadai untuk melakukan kegiatan di berbagai bidang yang bisa diandalkan untuk pembangunan bangsa dan negaranya. Namun dalam pengadaan energi tentu saja harus memperhatikan faktor kelestarian lingkungan hidup. Merusak lingkungan hidup sama dengan menghilangkan kesempatan hidup bagi generasi berikutnya. Lingkungan hidup suatu negara akan sangat berkaitan dengan negara lain sehubungan isu perubahan iklim. Komitmen terhadap perubahan iklim telah menjadi topik utama dalam percaturan politik dunia. Momentum Protokol Tokyo telah menjadi pemicu pentingnya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim untuk dilaksanakan negara-negara di dunia. Indonesia harus ikut berkomitmen terhadap perubahan iklim agar bisa tetap bergaul dengan negara-negara lain. Hal ini penting karena dalam kehidupan bernegara tidak akan lepas dari bantuan-bantuan luar negeri serta investasi yang masuk guna menunjang pertumbuhan ekonomi. Untuk dapat mengundang investasi dari negara-negara lain, Indonesia harus dapat mengikuti isu-isu utama dalam percaturan politik dunia. Salah satu penyumbang terbesar kerusakan lingkungan hidup adalah polusi yang ditimbulkan oleh pembakaran bahan bakar fosil, seperti batubara, bahan bakar minyak, dan gas alam secara besar-besaran. Dari pembakaran itu berakibat terjadinya emisi rumah kaca sebagai penyebab pemanasan global. Untuk mengurangi ketergantungan dari bahan bakar fosil tersebut, diperlukan pencarian dan pengembangan energi alternatif untuk mengurangi penggunaan bahan bakar fosil. Salah satu energi alternatif yang giat dikembangkan oleh negara-negara maju adalah sumber energi berbasis biomassa. Salah satu produk sumber energi biomassa yang dapat menggantikan bahan bakar padat seperti batu bara diantaranya adalah pelet kayu (wood pellet). Penelitian dan pemanfaatan pelet kayu yang belum berkembang di Indonesia diantaranya disebabkan oleh belum adanya desakan atas kebutuhan bahan bakar alternatif pengganti BBM dan gas akibat murahnya harga bahan bakar fosil. Selain itu belum ada pengembangan untuk menjadikan energi pelet kayu ini mudah digunakan oleh masyarakat secara luas. Untuk itu diperlukan langkah-langkah dalam mengadopsi dan mengadaptasi sumber energi pelet kayu dan perluasan penggunaannya di Indonesia sebagai sumber energi rendah emisi. Ketahanan Energi Indonesia Untuk dapat memahami pentingnya ketahanan energi dalam pembangunan, terlebih dahulu perlu dimengerti apa yang membentuk ketahanan energi. Ketahanan energi berhubungan dengan mengamankan energi masa depan suatu bangsa dengan cara mendapatkan sumber daya energi yang stabil dan berkecukupan dengan harga terjangkau. Permintaan energi global dalam beberapa dekade terakhir sebagian besar dipenuhi dengan bantuan kemajuan teknologi di sektor energi. Di sisi lain, energi masih mengalami kelangkaan, kondisi yang ironis ditengah kemajuan peradaban dunia. Meningkatnya konsumsi energi yang diprediksi akan terus melejit seiring pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan ekonomi di seluruh dunia juga akan mempersulit posisi ketahanan energi. Di dalam negeri, konsumsi energi primer telah meningkat lebih dari 50 persen sejak tahun 2000 hingga 2010. sementara, produksi minyak yang masih mendukung sebagian besar kebutuhan energi kita, telah turun dari puncak produksi sejumlah 1,6 juta barel per hari menjadi hanya 861.000 barel per hari di tahun 2012. Pada saat bersamaan, cadangan minyak terbukti menurun lebih dari 1,9 miliar barel sejak 1992, yang merupakan penurunan paling tajam di Asia. Kondisi perminyakan Indonesia kini tidak dapat diharapkan lagi. Hal ini berkaitan dengan kondisi cadangan minyak Indonesia yang hanya 0,4% dari cadangan dunia. Cadangan tersebut diperkirakan hanya bisa memenuhi kebutuhan minyak sampai tahun 2020. Ketahanan minyak sendiri dalam kondisi yang memprihatinkan. Saat ini Indonesia sangat bergantung pada impor minyak, baik dalam bentuk minyak mentah maupun BBM. Ketergantungan ini diperburuk dengan kemampuan penyulingan yang rendah dan menurunnya produksi minyak bumi yang membuat Indonesia menjadi net importir minyak. Untuk itu sangat penting untuk mengurangi ketergantungan terhadap minyak. Selain itu, untuk mendukung ketahanan energi dapat ditempuh pula cara pengembangan diversifikasi energi dan pengurangan subsidi bahan bakar. Khusus diversifikasi energi, banyak sekali energi alternatif yang dapat dikembangkan. Salah satu sumber daya yang masih tersedia dalam jumlah yang banyak dan berkelanjutan adalah energi dari biomassa. Terhambatnya Pengembangan Energi Alternatif Akibat Subsidi Bahan Bakar Fosil Tren dalam menggunakan bahan bakar hidrokarbon diprediksi akan tetap mendominasi konsumsi energi Indonesia di masa depan. Sementara dengan level konsumsi Indonesia saat ini, sumber-sumber daya ini bisa segera habis. Sebetulnya terdapat banyak sumber-sumber energi terbarukan lainnya di Indonesia yang dapat dikembangkan seperti tenaga hidro dan tenaga laut, angin laut, dan tenaga surya. Secara keseluruhan sektor energi terbarukan memiliki potensi pengembangan yang tinggi. Langkah-langkah pengambangan energi terbarukan ini harus didukung oleh pemerintah agar mampu berkembang. Namun, satu isu yang menghantui pemerintah selama bertahun-tahun dan mengakibatkan terlenanya pengembangan sumber energi terbarukan adalah adanya beban subsidi bahan bakar. Subsidi bahan bakar telah meningkat sejak diperkenalkan pada era 1960an. Tak hanya semakin sulit untuk mempertahankan level yang diinginkan masyarakat Indonesia, subsidi ini telah menjadi penghalang terbesar bagi efisiensi di pasar energi. Subsidi energi juga menyebabkan alokasi sumber daya yang kurang tepat karena subsidi membuat bahan bakar dijual dengan harga yang sangat murah dengan mengorbankan area-area penting lainnya seperti pemberantasan kemiskinan, penyediaan layanan kesehatan dan pembangunan infrastruktur. Pengurangan subsidi bahan bakar disinyalir sangat diperlukan saat ini. Pengurangan subsidi akan membuat harga bahan bakar meningkat sehingga mengerem permintaan karena konsumen harus menanggung sebagian dari beban bahan bakar sementara pemerintah menghemat triliunan rupiah. Pemotongan subsidi juga akan menyamaratakan kesempatan bagi sumber-sumber energi lainnya untuk berkompetisi dengan bahan bakar bersubsidi. Hal ini akan mendorong perkembangan energi terbarukan. Untuk pengembangan biofuel, Indonesia memiliki cadangan biomassa yang besar dari industri pertanian dan kehutanan, termasuk gula, karet, minyak sawit dan kayu. Oleh karena itu, Indonesia memiliki potensi untuk menjadi pusat produksi biofuel, meskipun saat ini terbatasi oleh kenyataan bahwa sumber-sumber biofuel banyak diekspor karena harga komoditas yang tinggi di pasar internasional. Tidak ada satupun sumber energi yang memiliki kemampuan sebagai solusi tunggal dari ketergantungan terhadap bahan bakar fosil. Untuk itu diperlukan upaya untuk mengkombinasikan sumber-sumber energi baru dan terbarukan, termasuk pelet kayu. Pelet kayu adalah hasil pengolahan dari kayu bulat atau limbah kayu menjadi serbuk yang dipadatkan sehingga berbentuk silindris dengan diameter 6-10 mm dan panjang 1-3 cm dengan kepadatan rata-rata 650 kg/m3 atau 1,5 m3/ton. Pelet kayu banyak digunakan di Eropa dan Amerika sebagai sumber energi untuk pemanas ruangan pada musim dingin dan energi penghasil listrik (carbon for electricity), serta sebagai sumber energi di rumah tangga untuk keperluan memasak. Pelet kayu menghasilkan rasio panas yang relatif tinggi antara output dan input-nya (19:1 hingga 20:1) dan energi sekitar 4,7kWh/kg. Penggunaan pelet kayu sebagai bahan bakar alternatif pengganti bahan bakar fosil menghasilkan emisi lebih rendah dibandingkan dengan minyak tanah dan gas. Emisi CO2 dari pelet kayu sekitar sepuluh kali lebih rendah dibandingkan dengan batu bara dan bahan bakar minyak, serta delapan kali lebih rendah daripada gas. Selain emisi CO2 yang dikeluarkan dari hasil pembakarannya rendah, juga berasal dari bahan baku terbarukan yang bersifat carbon neutral. Pelet kayu dapat disebut sebagai carbon neutral karena dianggap tidak menambah emisi CO2 ke atmosfer. Semasa pertumbuhan, pohon ini telah menyerap CO2 dengan jumlah yang diserap dapat lebih besar daripada yang dilepaskan, bahkan bisa menjadi karbon negatif. International Energy Association Bioenergy Task 40 melaporkan pada tahun 2007 negara-negara di Eropa memproduksi 4,5 juta ton pelet kayu dengan tingkat konsumsi sebesar 5,5 juta ton, terbanyak untuk kelistrikan dan sumber panas. Penggunaan pelet kayu juga telah meluas hingga ke Asia. Setiap tahunnya kebutuhan bahan baku kayu pelet di Korea Selatan mencapai 60 ribu ton dan akan terus meningkat ditengah kebijakan pemerintahnya untuk mensubstitusi bahan bakar batu bara dengan pelet kayu. Kebijakan Pemerintah Korea Selatan untuk mencari sumber biomassa di luar negeri direspon oleh pebisnisnya dengan menggelontorkan investasi untuk industri pelet kayu di Indonesia. Kebutuhan pelet kayu Korea Selatan sebagian besar dipasok oleh industri pelet kayu Indonesia yang saat ini memiliki kapasitas produksi sebesar 40 ribu ton per tahun. Sementara di dalam negeri, pasar pelet kayu domestik belum terlalu besar. Hal ini disebabkan karena kesadaran yang belum tinggi terhadap bahan bakar rendah emisi, ketergantungan yang tinggi terhadap bahan bakar minyak dan gas, dan belum adanya pengembangan teknologi yang memudahkan penggunaannya di tingkat rumah tangga. Keunggulan Komparatif Indonesia sebagai Penghasil Kayu dari Jenis Pohon Cepat Tumbuh Mulai meningkatnya konsumsi energi pelet kayu di luar negeri ternyata belum dilirik sebagai kebijakan energi alternatif di Indonesia. Padahal Indonesia adalah negara tropis yang terletak di garis khatulistiwa, dimana sinar matahari sebagai syarat utama pertumbuhan pohon bersinar sepanjang tahun. Keunggulan komparatif ini belum disadari sepenuhnya oleh pengambil kebijakan di Indonesia. Tanaman yang selama ini dikembangkan di Hutan Tanaman Industri (HTI) seperti jenis Akasia (Acacia mangium) dan Ekaliptus (Eucalyptus spp.) dapat mencapai diamater 30 cm hanya dalam waktu lima tahun. Sementara jenis yang sama jika ditanam di iklim sub-tropis membutuhkan waktu 40-60 tahun. Keunggulan komparatif inilah yang seharusnya dimanfaatkan oleh pengambil kebijakan dalam pengembangan energi terbarukan. Keunggulan lainnya dalam pengembangan pelet kayu adalah telah dilakukannya upaya pengembangan HTI secara besar-besaran dengan jenis tanaman cepat tumbuh. Hal ini akan menjawab persoalan terkait ketersediaan bahan baku biofuel yang selama ini menjadi salah satu masalah terbesar dalam pengembangannya. Biofuel memang bisa dihasilkan dari jenis tanaman singkong, tebu, nyamplung dan tanaman lainnya, namun ketersediaannya tidak stabil dan tidak dalam skala besar karena berbenturan dengan komoditas pangan. Jikapun ingin dibuat dalam skala besar, kendalanya selalu terdapat dalam pengadaan lahan yang sangat sulit didapat secara luas dan terintegrasi. Oleh karena itu, luas HTI yang telah mencapai 9,9 juta hektar pada tahun 2011 menjadi peluang yang sangat baik dan memungkinkan untuk penyediaan sumber energi pelet kayu.
 

Sample text

Sample Text

Sample Text

 
Blogger Templates