Pages

Senin, 08 September 2014

POTENSI USAHA KEBUN ENERGI


Sebuah Integrasi antara Mitigasi Perubahan Iklim, Perbaikan Lingkungan dan Penguatan Sosial Ekonomi. Sekitar satu dasawarsa, kontestasi paradigma perubahan iklim dan perdagangan karbon tak pernah berhenti. Isu ini memberi pesan bahwa dibalik ancaman mengerikan akibat perubahan iklim terdapat harapan besar untuk memperoleh keuntungan jual beli karbon bila ada upaya mitigasi. Selain itu juga ada iming-iming bahwa dengan menyimpan karbon dalam bentuk biomasa atau menahan nafsu tidak menebang pohon dengan alasan Pengelolaan Hutan Lestari (SFM) akan memperoleh kompensasi. Daripada berharap pada hasil perdebatan penurunan emisi dan kompensasi negara-negara maju tersebut, lebih baik kita realistis memikirkan bagaimana ikut berpartisipasi dalam mengurangi emisi di negara kita sendiri tanpa menggantungkan nasib dari negara lain.

 Kita semua sepakat bahwa perubahan iklim telah berdampak buruk pada kehidupan lingkungan. “Little but is not the least!”. Act locally, think globally. Gagasan ini adalah bagaimana mengembangkan sebuah lokus baru cara mitigasi perubahan iklim melalui integrasi antara kebun energi kaliandra dan pabrik wood pellet . Konsep ini selain meningkatkan tutupan lahan pada areal kritis juga akan mengurangi tekanan terhadap hutan rakyat, sekaligus menyasar pada konsep carbon neutral. Konsep ini sangat menarik dan relevan dengan apa yang menjadi indikator ketercapaian program dalam memperkuat DAS dan meningkatkan perekonomian masyarakat dalam konteks Perhutanan Sosial.

Konsep carbon neutral, meski masih ada yang memperdebatkan diakui secara operasional lebih manageble. Konsep ini mengatakan bahwa CO2 yang terserap di dalam tanaman melalui proses fotosintesis akan menjadi karbon padat, dan dilepaskan kembali ketika dibakar sehingga hasilnya kosong-kosong atau netral dimana efeknya adalah kenaikan nol tingkat karbon dioksida (CO2) dalam atmosfir. Lebih jauh lagi, ketika bahan bakar berbasis biomasa seperti wood pellet dibakar, maka bersamaan dengan proses itu kita bisa mengerem laju pembakaran bahan bakar berbasis fosil seperti batu bara atau minyak bumi ke udara setara dengan jumlah wood pellet yang dibakar. Itulah praktek penerapan carbon neutral yang sederhana.

Wood pellets adalah energi terbarukan sebagai salah satu barang (energi) substitusi terhadap bahan bakar fosil seperti batubara dan bahan bakar minyak (BBM). Batubara dan minyak bumi yang tersimpan di perut bumi pasti akan menjadikan tingkat emisi karbon yang luar biasa jika dibakar menjadi energi. Wood pellets kini merupakan primadona bahan bakar biomasa sebagai pengganti batubara yang banyak dipakai oleh konsumen di negara-negara maju sebagai bahan bakar tanur pembangkit energi listrik dengan kapasitas besar sampai ke level penggunaan rumah tangga sebagai penghangat ruangan dan kompor biomassa. Walaupun demikian, karena alasan ekonomi, upaya konservasi energi tidak semuanya bisa lepas 100% dari ketergantungan batubara. Teknologi Cofiring mengacu pada pembakaran dua jenis bahan pada saat yang sama. Pembangkit tenaga listrik berbahan bakar padat seperti batubara dapat dicampur dengan bahan bakar wood pellets. Cofiring secara teknikal memberikan pembakaran yang lebih cepat kepada batubara, disamping mengurangi jumlah gas rumah kaca dari hasil pembakaran 100% batubara.

Secara ekonomis bisnis wood pellet sangat menggiurkan, dimana permintaan wood pellet dunia masih jauh lebih tinggi dari supplynya. Korea Selatan saja setiap tahunnya perlu 2 juta ton sedangkan yang tersedia baru 700 ton. Di negara yang terkenal dengan Gangnam Style ini, jika ada pabrik wood pellet yang didirikan pemerintah harus memberikan subsidi. Di negara ini juga ada aturan khusus mengenai pembangkit listrik yang menggunakan system RPS (pemerintah memberikan aturan pada PLTU untuk wajib menggunakan Wood pellet). Sedangkan di Jepang menggunakan system FIT yaitu insentif tarif. Jika menggunakan wood pellet maka pemerintah Jepang wajib memberikan subsidi juga. Di China dengan memaksa rakyatnya menggunakan wood pellet, jika tidak menggunakan maka usahanya akan ditutup, demikian sekilas cerita Mr. Park dalam kunjungan studi banding proyek ICCTF ke Wonosobo. Lalu bagaimana dengan Indonesia, bagaimana kebijakan penggunaan energi terbarukan di Indonesia? Bagaimana kebijakan dan dukungan pemerintah untuk program bioenergy dan energi terbarukan untuk saat ini dan masa depan? Apakah jika kita mengembangkan wood pellet di Indonesia akan memperoleh subsidi seperti negara-negara lain?

Konsep sederhana mengenai carbon neutral, mitigasi perubahan iklim, dan pemberdayaan sosial masyarakat. Kebun energi (Biomass Energy Estate) adalah sebuah hamparan lahan yang ditanami jenis-jenis tanaman tertentu yang nantinya akan dipanen sebagai bahan baku pembuatan bahan bakar biomasa. Sebetulnya cukup banyak jenis yang cocok digunakan sebagai tanaman Kebun Energi selain kaliandra seperti glirisidea, lamtoro, akasia, dan lain-lain, namun pemilihan kaliandra didasarkan pada alasan yang sangat masuk akal. Kaliandra adalah jenis tanaman perdu yang gampang dan cepat tumbuh di lahan miskin hara, miskin air, namun bisa menyuburkan tanah melalui fiksasi Nitrogen dalam tanah. Kayu kaliandra juga menghasilkan kalori yang tinggi ketika dibakar (4,7 kkal) sehingga banyak masyarakat menggunakannya untuk kayu bakar. Daun kaliandra juga banyak dipakai sebagai pakan ternak yang potensial. Bunga kaliandra memberi daya pikat buat lebah madu, sehingga membuka peluang untuk bisnis madu dari nektar bunga kaliandra.

Rekomendasi Dr Prijanto Pamoengkas, ahli silvikultur IPB juga menyatakan bahwa keunggulan arsitektur pohon Calliandra callothyrsus atau kaliandra merah dengan silvikultur terubusan atau coppice system sangat cocok dalam segala hal untuk dijadikan pilihan jenis tanaman kebun energi yang bisa menghasilkan energi wood pellets setara dengan energi batubara. Berapa sebenarnya luasan kebun energi yang optimum bisa mencukupi kebutuhan industri wood pellet? Mari kita membuat hitungan sederhana sebagai berikut: Dengan memilih spesies Caliandra Callothyrsus kita bisa menghitung berapa areal kebun energi yang dibutuhkan.

Menurut data riset,kaliandra bisa menghasilkan 15-40 ton/ha/year atau 27 ton/ha/year rata-rata dengan jarak tanam 1 m x 1 m (Tangenjaya et.al.1992).  Kapasitas industrinya adalah 1 ton per jam, dan dengan asumsi bahwa jam kerja efektif pabrik adalah 7 jam sehari, maka pabrik akan menghasilkan 7 ton per hari. Berapa hektar kebun energi yang dibutuhkan untuk memproduksi raw material wood pellet dengan output wood pellet 1 ton perjam atau 7 ton sehari? Menurut hasil penelitian, raw material yang dibutuhkan untuk memproduksi 1 ton wood pellet adalah sebanyak 1,5 ton atau satu setengah kalinya jika kadar air raw material tersebut 40%. Namun jika kadar air mencapai 10% (sangat kering) maka input raw material bisa 1:1,1. Walaupun iklim kering, kita bisa mengasumsikan kebutuhan raw material adalah sebanyak 10,5 ton dengan kondisi batang basah. Jika 1 tahun 365 hari, dan setiap hari Jumat libur, maka kurang lebih ada 317 hari kerja dalam setahun, dibulatkan menjadi 310 karena ada beberapa tanggal merah dalam setahun. Jadi kebutuhan raw material dalam 1 tahun adalah 10,5 ton x 310 hari = 3.255 ton/ tahun. Dengan mengambil angka rata-rata penelitian Tangenjaya bahwa produksi kaliandra perhektarnya sebanyak 27 ton/ha, kita akan memperoleh angka 3.255/27 = 121 ha. Jika kita mengambil nilai terendah produksi kaliandra 15 tons/ha, kita akan butuh lahan 3.255/15 = 217 ha. Sehingga, diperlukan mempersiapkan lahan seluas 121 ha to 217 ha tergantung pada kondisi kesuburan tanah dan kemampuan tumbuh kaliandra di tempat tersebut. Seberapa luas rata-rata kebun energi akan dipanen dalam 1 hari? Maka akan kita hitung 121 ha : 310 hari = 0.39 ha

Tidak gampang memperoleh lahan yang cukup luas yang digunakan sebagai Kebun Energi karena selain kawasan hutan yang semakin menciut, konflik dan tumpang tindih tatarung lahan bisa menyulitkan pengelolaan. Ketersediaan lahan yang dipakai untuk kebun energi sangat penting untuk memberi kepastian panen kayu kaliandra secara lestari. Karena bagi konsep ini, kebun energi harus disesuaikan dengan model siklus pengaturan hasil kayu kaliandra – mengatur jadwal panen agar pasokan kayu tidak tekor setiap kali dibutuhkan oleh industri wood pellet.

Kelembagaan lokal yang sudah tertata biasanya memiliki aturan-aturan internal diantara anggota, legalitas lembaga seperti Koperasi, hak dan kewajiban anggota, serta micro finance untuk mendukung perekonomian lokal. Banyak dijumpai lahan yang ditinggalkan pemiliknya merantau ke daerah lain tanpa dikelola dengan baik menjadi lahan kosong atau lahan yang di-bera-kan. Target dari penanaman kebun energi sebetulnya adalah lahan yang kosong dan tidak dimanfaatkan oleh pemiliknya. Namun banyak pula anggota kelompok tani yang mengembangkan model agroforestry dimana kaliandra ditanam bersama-sama tanaman pertukangan atau pertanian. Disini pula Kelompok Tani dan kelembagaan lokal berperan aktif dalam mewujudkan kontrak sosial terutama terkait lahan yang akan digunakan untuk kebun energi.

Konsep ini menganggap penting melakukan kegiatan pengumpulan baseline data terkait dengan kondisi sosial, budaya, dan ekonomi masyarakat terutama pada saat t-0 dimana aktivitas ekonomi dari proyek ini belum dilaksanakan. Kemudian, pada saat pemanenan kebun energi dan industri wood pellet sudah jalan yang ditandai dengan terjadinya proses transaksi ekonomi antara masyarakat (kelompok tani) dengan industri wood pellet. Diharapkan kegiatan ekonomi pabrik wood pellet dan supply-demand kayu kaliandra bisa berjalan baik dimana memungkinkan terjadinya proses scaling up di daerah-daerah yang lain. Bahkan sangat berharap munculnya dana bergulir atau revolving fund, walaupun prakteknya akan cukup sulit.

Pengelolaan Wood Pellet Berbasis Masyarakat
Pengembangan pabrik wood pellet dapat dirancang memiliki kapasitas 4 ton per jam. Namun untuk mengembangkan pabrik dimulai dengan kapasitas 1 ton per jam yang disebut sebagai inkubator industri wood pellet. Dengan kapasitas terpasang pabrik 1 ton perjam dengan jam kerja 7 jam sehari akan dibutuhkan sekitar 11 ton bahan baku wood pellets setiap harinya. Jika bahan baku kaliandra belum siap maka penggunaan limbah kayu dari jenis lain seperti ranting-ranting jati, akasia, lamtoro, dan gliriside telah disiapkan. Ini adalah laboratorium lapangan yang sangat menarik, sehingga istilah inkubator mengacu pada proses pembelajaran buat proyek dan buat masyarakat. Pabrik wood pellet ini harus beroperasi setiap harinya untuk menopang kegiatan ekonomi kelompok tani gerbang lestari di Geger Bangkalan. Untuk manajemen pabrik diperkerjakan masyarakat lokal yang berpotensi baik, termasuk tehnisi mesin-mesin yang berpengalaman. Karena tidak sepenuhnya berwatak akumulasi kapital, entitas bisnis wood pellet Gerbang lestari menerapkan nilai-nilai lokal yang agamis dengan manajemen global.

Pengolahan wood pellet berbasis masyarakat diarahkan pada pemenuhan beberapa prakondisi sebagai berikut:
Bangunan pabrik, min seluas 200 m2 untuk kapasitas 1 ton per jam
Sirkulasi udara yang baik
Aspek legalitas bangunan dan ijin industri: TDI, SIUP, HO, IMB dan legalitas lain yang relevan Pengadaan mesin-mesin produksi terdiri dari: chipper, rotary dryer, hammer mill, peletizer, cooler, dan packaging dari perusahaan yang berpengalaman
Sumber Listrik PLN 3 phase, 190 KVA untuk menggerakkan mesin-mesin wood pellet
Tersedianya tenaga kerja yang trampil
Tersedianya bahan baku kayu kaliandra merah  sesuai kapasitas industrinya
 Tersedia pasar wood pellet dengan harga kompetitif. Untuk ekspor maka sertifikasi SVLK dan sertifikat produk perlu dipersiapkan
 Aksesibilitas yang baik, terutama menuju pada Pelabuhan Internasional

Jika Anda ingin membuat sendiri pabrik wood pellet prosedur yang dilakukan lebih sederhana dan pengambilan keputusan bisa cepat dilakukan. Hasil kajian analisis usaha wood pellet sangat menguntungkan dalam kurun waktu tertentu karena permintaan wood pellet ini masih sangat tinggi. Komponen biaya produksi terbesar adalah pengadaan bahan baku dan biaya pengangkutan menuju pasar ekspor. Pasar lokal di dalam negeri masih sangat terbatas dengan penawaran harga yang rendah sekitar Rp 1 juta per tonnya. Ini jauh berbeda dengan harga ekspor sekitar 150 USD s.d 220 USD walaupun persyaratan ekspornya juga cukup rumit.

Koperasi Rumah Ilmu telah menyusun sebuah Model Bisnis yang berisi aturan dan prosedur produksi wood pellet. Bahkan aturan mengenai profit sharing juga telah disepakati yang memungkinkan lahirnya bentuk-bentuk pola kerjasama antara petani hutan dengan industri wood pellet yang dikelola oleh masyarakat juga. Untuk menjamin keberlanjutan produksi wood pellet. Hal yang paling krusial adalah dua elemen kunci yaitu kualitas mesin-mesin wood pellet yang baik dan pemasaran wood pellet yang bisa kontinyu dengan harga yang memadai secara ekonomi. Mesin-mesin wood pellet harus diproduksi oleh Pembuat mesin yang berpengalaman dan pernah meng install mesin-mesin wood pellet serta berhasil memproduksi wood pellet yang berkualitas internasional.
Prof. Yanto Santosa dosen IPB yang ahli dalam produksi wood pellet mengatakan bahwa jaminan mesin-mesin wood pellet ini bisa dilihat dari apakah sudah berlisensi SNI (Standar Nasional Indonesia)? Dan pertanyaan berikutnya, Apakah produk-produk wood pellet telah teruji kualitasnya sesuai dengan standar pasar? Banyak Badan Penguji di Indonesia yang mampu melakukan pengujian wood pellet yaitu: Sucofindo, SGS, dan Puspitek Serpong. Sertifikat hasil uji produk ini menjadi syarat pemenuhan standar konsumen wood pellet.
Yang penting dalam proses pengadaan mesin ini adalah jangan asal membeli mesin wood pellet dan jangan asal murah karena investor pasti tidak ingin pabriknya hanya berumur sebulan atau kalaupun jalan, uang banyak terkuras untuk perbaikan mesin dan trial produksi. Bahwa suatu bisnis besar yang berpengaruh dalam suatu wilayah akan memberi pengaruh yang menguntungkan bagi bisnis-bisnis lain dan konsumen-konsumen lainnya. Ini berarti bahwa keberadaan sebuah unit bisnis di suatu wilayah dapat menciptakan bisnis baru dan permintaan baru. Dalam usaha wood pellet  dapat menimbulkan berbagai bentuk bisnis baru buat masyarakat baik yang terlibat langsung dalam kebun energi maupun masyarakat di luar kelompok tani, misalnya usaha perlebahan yang berkembang karena ada kebun energi kaliandra, penjualan sekam padi dan serbuk gergajian karena ada kebutuhan bahan bakar dryer bahan baku wood pellet, usaha kemasan air minum dengan semakin banyaknya mata air bersih yang ditemukan, usaha pembuatan kompor biomasa wood pellet yang diperjual belikan di tingkat lokal, serta kemungkinan tumbuhnya usaha toko dan warung makan ketika aktivitas kebun energi dan pabrik menjadi ramai.

Penggunaan kompor biomasa berbahan bakar wood pellet
Konsep proyek ini secara umum sebenarnya ingin memadukan antara sains-nilai-nilai (values) dan bisnis. Teknologi produksi wood pellet saat ini termasuk teknologi dengan level komplikasi rendah s.d sedang sehingga buat masyarakat masih bisa menjalankan pabrik ini termasuk bagaimana menjalankan pemasaran secara ekspor. Pada tahap awal mungkin akan dilibatkan konsultan untuk membantu menangani dan mengajarkan bagaimana melakukan ekspor. Model Bisnis yang dikembangka juga memungkinkan masyarakat untuk berbagi keuntungan (profit sharing) dan mendukung kegiatan-kegiatan sosial masyarakat. Salah satunya dalam Pengajian rutin masyarakat bisa disisipi dengan penyuluhan bagaimana mengembangkan bisnis kebun energi dan pabrik wood pellet.

Pemetaan Pemangku Kepentingan (Stakeholder) Sebelum proyek dijalankan seharusnya sebuah pekerjaan untuk memetakan para pemangku kepentingan dilakukan dengan cermat. Pemetaan stakeholder akan memberikan informasi yang penting untuk mengetahui tingkat resiko dan pengendalian proyek.  Kebijakan otonomi daerah yang dominan, berbagai proyek yang dilaksanakan di daerah harus memperhatikan bagaimana mekanisme pelibatan unsur daerah dalam proyek tertentu. Jika kita salah strategi dalam menjalankan proyek terkait bagaimana melibatkan peran pemerintah daerah dan tokoh masyarakat, maka aktivitas proyek bisa terhambat oleh persoalan-persoalan yang tidak perlu. Pemetaan stakeholder juga akan mengkaitkan peran stakeholder yang satu dengan stakeholder yang lain. Di tingkat Kabupaten, Bupati adalah bak seorang Raja, dan Dinas Kehutanan adalah salah satu menteri di wilayah Kabupaten. Mereka berhak mengatur wilayahnya sesuai dengan kebijakan Pemerintah Daerah termasuk proyek-proyek pemerintah yang dianggarkan di tingkat Kabupaten. Pemerintahan dibawahnya adalah Kecamatan dan Desa yang memiliki peran ikut mengontrol dari aspek kewilayahan termasuk keamanan. Lingkungan Pesantren hampir dijumpai di setiap Kecamatan bahkan Desa, dimana masing-masing punya Tokoh agama yang digugu dan ditiru. Masyarakat dan Petani adalah stakeholder di tingkat grass root yang perlu mendapat perhatian khusus.
Hal ini juga tidak hanya bertujuan untuk mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi, tetapi juga untuk memperkuat dan memperluas peran hutan sebagai carbon pool melalui penjagaan konservasi hutan, pengelolaan hutan yang berkelanjutan, dan penguatan stok karbon hutan. Terkait dengan tujuan tersebut, REDD+ diimplementasikan melalui penanaman pohon dan rehabilitasi lahan-lahan kritis. energi terbarukan berbasis bomasa adalah aktivitas yang berperan penting dalam mengurangi emisi karbon. Wood pellet yang menjadi fokus dalam proyek ini adalah satu jenis energi terbarukan berbasis biomasa.

Tindakan yang diperlukan oleh Indonesia dalam rangka mengurangi kadar emisi harus menganut prinsip MRV : measurable, reportable, and veriviable. cara sebagaimana mekanisme yang potensial untuk mengurangi emisi dimana MRV diimplementasikan menggunakan:
(1) IPCC Guidelines – 2006: AFOLU (Agriculture, Forestry, Other Land Use);
(2) kombinasi antara penginderaan jauh & ground-based inventory,
(3) menghitung pada 5 kumpulan karbon, dan
(4) hasil dari penghitungan karbon seharusnya transparan dan terbuka untuk di review.

Penyerapan karbon dalam biomas pohon dapat di inventarisasi melalui beberapa prosedur yang telah dikembangkan oleh BPKH XI sebagai berikut: Pemetaan Areal Untuk akurasi pengukuran dan monitoring setelah pengukuran, batas-batas areal harus diukur secara cermat dan dipetakan dengan baik untuk memenuhi persyaratan registrasi proyek. Batas-batas areal harus dipetakan dengan metode pemetaan yang valid yaitu: ◦ Areal akan bervariasi dalam luasan 10 ha-100.000 ha ◦ Area dapat tersebar atau berada dalam satu bentang lahan (landscape) ◦ Kepemilikan lahan atau unit pengelolaan Startifikasi Areal Beberapa variabel yang dapat digunakan adalah: Penggunaan lahan (Land use) Tipe vegetasi (Vegetation types) Kelerengan (Slope) Iklim (Climate) Ketinggian (Altitude) Penetapan kumpulan karbon (carbon pool) dapat dihitung dengan: Ketersediaan metode, tingkat akurasi yang diinginkan, dan ketersediaan dana untuk proses pengukuran dan monitoring Sasaran dari pengukuran dan pendugaan Percepatan Untuk afforestation dan deforestation yang mana terminologi proyek di bawah 60 tahun akan menjadi ekonomis dan efisien dengan menghitung live tree biomass (di atas dan di bawah tanah) Desain Sampling — Plot Permanen (mortality, ingrowth) — Jumlah plot : ◦ Tergantung pada level akurasi dan strata (kondisi keberagaman) ◦ Jumlah plot yang diperlukan tergantung pada jumlah variable yang mengacu pada stok karbon — Bentuk plot dapat berupa : quadratic, strip, atau lingkaran Stok Karbon di wood pellet Stok karbon pada wood pellet dapat dibebaskan ke atmosfir ketika dibakar. Jika wood pellet tersebut digunakan untuk substitusi atau cofiring dengan bahan bakar fosil yang lain misalnya batubara, ini dapat dinyatakan bahwa jumlah emisi CO2 yang dibebaskan ke udara adalah sama dengan karbon yang diserap melalui proses fotosintesis. Secara umum pengukuran karbon pada konsep ini adalah mengukur stok karbon dalam Kebun Energi dan stok karbon pada wood pellet yang akan dijadikan baseline data. 1.6. Scaling up dan Sertifikasi Dalam konteks kedaerahan, lahan kritis di Kabupaten Bangkalan, Madura diperkirakan seluas 66.797 ha atau 52% dari total areal Kabupaten seluas 127.518 ha (Data statistik RRL Jawa Timur, 2007). Prosentase yang hampir sama terjadi di tiga kabupaten lainnya yaitu Sampang, Pamekasan, dan Sumenep. Sebuah upaya luar biasa telah dilakukan oleh Masyarakat di Kec Geger Bangkalan Madura dan para santri Pondok Pesantren Darrul Ittihad pada tahun 70 an yang memperoleh dukungan dari Dinas kehutanan setempat dan tokoh-tokoh masyarakat lokal yang peduli dengan penghijauan dengan menghijaukan bukit-bukit Geger yang tandus. Dampaknya banjir tahunan di Arosbaya semakin berkurang sejak tahun 2000 an. FMU Gerbang lestari di Kombangan Geger telah memperoleh sertifikat pengelolaan hutan berbasis masyarakat lestari LEI pada tahun 2010 yang sebelumnya telah meraih kalpataru. Kondisi yang baik ini kemudian menarik untuk dikembangkan lebih lanjut menjadi proyek percontohan kebun energi dan industri wood pellet berbasis masyarakat. Proyek yang berhasil di tingkat daerah harus bisa di replikasikan di daerah lain. Project ICCTF-MoFOR ini fokus pada pengembangan kebun energi dan industri wood pellets dalam rangka mendukung program mitigasi perubahan iklim dan mendorong low carbon economy. Jika konsep kebun energi kaliandra dan industri wood pellet di bangkalan madura berhasil, maka ini akan menjadi teladan bagi daerah-daerah yang lain. Pengembangan dalam skala luas untuk kebun energi dan industri wood pellet diproyeksikan akan memberikan dampak positif yaitu: (1) mitigasi perubahan iklim melalui penyerapan karbon di kebun energi dan substitusi penggunaan bahan bakar fosil dengan wood pellet, (2). Rehabilitasi tanah kritis/ terbuka/ tidak produktif dan menyuburkan tanah, (3). Kualitas hidup masyarakat yang diperbaiki melalui penguatan sosial ekonomi lokal dan perekonomian mikro. Untuk memperoleh keberterimaan pasar di leval internasional kebun energi FMU Gerbang lestari dan Industri wood pellet berbasis masyarakat ini perlu dipersiapkan menuju sertifikasi yang diakui internasional. Ada 3 tipe sertifkasi yang perlu dipersiapkan yaitu: 1. Sertifikasi produk ; 2. Sertifikasi SFM atau PHBML dan 3. Sertifikasi Legalitas Produk Kayu menggunakan skema SVLK (Sistem Verifikasi Legalitas Kayu). Sertifikasi produk berkaitan dengan jaminan kualitas produk wood pellet sesuai dengan keinginan dan standar internasional yang berhubungan dengan standar bahan bakar biomasa. Lembaga sertifikasi di Indonesia bisa melakukan pengujian mutu terkait dengan kalori yang dihasilkan, kadar abu, tingkat emisi, dll. Sertifikasi pengelolaan hutan lestari dikembangkan oleh Lembaga Ekolabel Indonesia/LEI dan FSC (Forest Stewardship Council). FMU Gerbang lestari telah memperoleh sertifikat LEI namun belum memperoleh sertifikat FSC yang memiliki keberterimaan pasar yang luas di Eropa dan Amerika. Dan yang ketiga adalah sertifikat SVLK atau legalitas kayu. Skema ini adalah skema wajib yang dikenakan pada seluruh industri perkayuan di Indonesia terutama yang produknya di ekspor ke Uni Eropa. Indonesia terikat dengan perjanjian VPA (Voluntary Partnership Agreement) dengan Uni Eropa dimana produk Indonesia harus legal dibuktikan dengan adanya FLEGT License yang diakomodir oleh mekanisme SVLK sebagai V-Legal Certificate. Tentunya dengan adanya inisistif sertifikasi ini akan menambah biaya, namun jika harga produk bersertifikat jauh lebih tinggi, why not? [1] Daru Asycarya, Project Manager of ICCTF MoFor, Direktur Utama IDEAS Consultancy Services [2] Protokol Kyoto adalah kesepakatan global di bawah United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) yang ditandatangani pertama kali pada COP 3 tahun 1997. Kesepakatan ini mengatur penurunan emisi oleh negara-negara industri maju dan bersifat mengikat para pihak-legally binding. [3] Konsep ini awalnya digagas oleh Dr. Yetti Rusli dan disempurnakan oleh IDEAS Consultancy Services. Gambar di atas di layout oleh Catur Teguh Oktavianto, staff PMU http://daruasycarya.wordpress.com
 

Sample text

Sample Text

Sample Text

 
Blogger Templates